Ramadhan 1445 Hijriyah tahun 2024 ini menjadi Ramadhan kelabu buat saya. Kenapa begitu? Bagaimana tidak, saya menjalani ramadhan tahun ini dengan kesedihan.
Pertama saya jarang ngantor dan banyak ambil cuti, rasanya seperti kurang produktif aja, agak malu sama teman-teman. Kedua saya banyak bolong dlm menjalankan tarawih, padahal sebelumnya di awal Ramadhan saya selalu punya semangat utk mencanangkan ingin bisa full tarawih di masjid 30 hari penuh. Bahkan ingin ngajak anak istri tarling (bukan joget gitar suling ala panturaan yaa 😅) tapi ingin tarawih keliling menjelajah masjid. Apalagi saya org baru di kota ini, jd sblm ramadhan tiba saya bilang sama anak istri bahwa hayuk kita keliling cari2 masjid yg nyaman nanti pas romadhin, sambil berburu takjil gratis dan tarawih keliling.
Ah sebenarnya bukan poin satu dan dua diatas yg bikin saya sedih, itu sih bukan apa2. Ada poin ketiga yg jd sumber kesedihan saya di tahun ini. Yaitu bahwa Ibu saya harus masuk RS selama 28 hari, dengan 10 hari diantaranya masuk perawatan intensif alias ICU. Huhuhuuuu pengen nangis rasanya klo inget ini semua 😢.
Begini ceritanya: Jadi beberapa hari sebelum Ramadhan tiba sy sdh ambil cuti untuk pulang ke Bandung. Tidak lain dan tidak bukan ya buat ketemu dengan kedua orgtua, juga mertua. Kami masyarakat sunda mengenal istilah 'Munggahan'. Munggahan ini adalah tradisi turun temurun dimana menjelang Ramadhan kami biasanya kudu wajib musti harus berkumpul dengan keluarga, terutama bertemu kedua orangtua dan saling silaturahmi sambil makan bersama. Bahkan jika orgtua sdh tiada kami seperti punya keharusan utk mengunjungi makam dan berdoa diatas pusara mereka orgtua yg telah mendahului.
Nah ketika saya sedang berkemas beres2 koper dan akan kembali ke domisili tempat kerja saya di tangsel pada hari ke-2 Ramadhan tiba2 Ayah menelpon saya sambil terisak. Menyuruh saya segera kerumahnya sekarang juga. Dalam ingatan saya ini pertama kalinya saya dengar ayah menangis. Ayahku org yg kuat, tegas, dan tak pernah menangis sebelumnya didepanku. Tanpa pikir panjang saya tinggal anak istri dan segera bermotor yg jaraknya sekitar 30 menit dari tempat tinggal saya di bandung. Memang kemarin saat munggahan ibuku sedang demam, katanya kehujanan waktu ziarah ke makam nenek. Kukira hanya panas biasa dan bahkan sdh diantar ke klinik utk berobat. Dalam perjalanan segala pikiran berkecamuk di kepala. Apa gerangan yg terjadi pada ibu? Ah,, tanpa terasa pipiku basah dengan air mata. Biar hembusan angin kencang di motor ini yg menyapihnya. Doa dan dzikir berusaha terus kulantunkan agar tetap waras diperjalanan.
Setibanya disana aku langsung masuk kamar dan buru2 ingin melihat ibu. Betapa kaget melihat kondisi ibu yg terbaring lemas di kasur. Ketika kupanggil pun respon suaranya sdh tdk jelas berbicara apa. Padahal 2 hari yang lalu ibu masih bisa duduk dan kita ngobrol sampai malam di depan TV walaupun ibu sdh mengeluh demam dan sakit badan.
Akhirnya keluarga sepakat membawa ibu ke IGD. Berbekal kursi roda peninggalan almarhum nenek, kami angkat ibu susah payah dari kasur ke kursi roda. Dari kursi roda menuju mobil. Ibu bahkan sdh tak bisa duduk dgn baik di kursi. Kakinya hanya mengangkat pelan ketika kami bopong ke mobil.
Alhasil ibu sampai di IGD sebuah RS swasta pada tengah hari. Cukup lama menunggu hingga akhirnya saat sedang berbuka puasa kami dipanggil suster untuk bersama-sama mengantar ibu ke ruang perawatan.
Perjalanan saat dirawat di RS ini cukup panjang dan penuh lika-liku. Dari mulai hari kedua dmn ibuku sempat ngedrop dan semua keluarga dipanggil utk berkumpul dan mendoakan yg terbaik. Hingga ibu akhirnya masuk ICU 10 hari, bahkan hampir diminta pasang ventilator melalui operasi hingga harus melubangi tenggorokan/dada. Diagnosa dokter pun beragam, mulai infeksi paru2, ginjal, hingga lambung. Bahkan ketika dilakukan CT Scan di otak dianggap terjadi penggumpalan di otak. Ibu ditangani berbagai dokter mulai dari dr spesialis penyakit dalam, spesialis anastesi, spesialis jantung, dan spesialis syaraf. Hingga menjalani cuci darah berkali2 selama di RS. Seiring berjalannya waktu ibu membaik, hingga pada H-2 Lebaran Idul Fitri 1445 Alhamdulillah akhirnya ibuku diperkenankan pulang. Walaupun kondisinya masih ttp berbaring, tapi alhamdulillah sdh bisa komunikasi dgn mengangguk atau menggeleng ketika kami tanya. Keluarga harus sabar merawatnya, begitu pesan dokter sebelum kami pulang.
Yah beginilah Ramadhan ku tahun ini. Bukan karena ibuku yg sakit lantas aku kehilangan momen ramadhan yg aku sesalkan. Tetapi lebih kepada bahwa tahun ini menjadi tahun kesedihan buatku. Ya memang bahkan ramadhan tahun ini bagiku tak berasa. Semua berlalu begitu cepat rasanya baru mulai kemarin, tiba2 sekarang sdh lebaran. Mungkin karena hanya kesembuhan ibu yg terus kuharapkan dari setiap doaku.
Sedih rasanya karena harus melihat ibuku tak berdaya di rumah sakit. Padahal ibu blm pernah sakit separah ini sebelumnya. Dan ibuku adalah org yg selalu ceria, selalu terlihat sehat dan bahagia dihadapan kami yg mengenalnya. Tapi rupanya ibu jg pandai menyembunyikan sakit diabetes yg ia derita dari anak2nya. Ibuku tak ingin anak2nya khawatir. Ibuku memang org yg kuat dan tegar, ia tipe wanita strong nan tangguh yg tak ingin terlihat lemah dihadapan anak2nya. Bahkan ketika saya pernah punya ide untuk mencarikan org yg bisa bantu2 ibu di masa pensiun nya untuk beres2 rumah. Ibu sangat setrong dan mengaku masih mampu mengerjakan semuanya sendiri.
Huhu memang begitulah ibu. Kasih sayangnya selalu tak terhingga untuk anak-anaknya dan keluarga yg dicintainya..
Mohon doanya yaa dari para pembaca, baik yg datang kesini secara sengaja maupun tidak disengaja, agar ibuku semakin membaik dirumah. Amiin