Dalam dunia sepak bola, peran suporter adalah elemen penting. Suporter menyemangati tim, menciptakan atmosfer yang luar biasa dan membuat stadion menjadi hidup. Demikian juga arti hadirnya bobotoh di Persib Bandung, suporter sejati yang dikenal loyal dan selalu mendampingi klub dimanapun berada, kandang maupun tandang. Namun, belakangan ini kesetiaan bobotoh diuji.
Liga 1 musim 2023 menjadi awal ujian itu. Pertama, PSSI melarang pendukung tim tamu untuk hadir ke kandang lawan. Alasannya bisa dimengerti, meskipun berat terasa di hati. Tragedi kanjuruhan di Malang tentu jadi pukulan menyakitkan buat sepakbola Indonesia. Kedua, kini manajemen Persib telah mengambil langkah-langkah yang mengubah cara Bobotoh mendukung tim kesayangan mereka. Mulai dari kenaikkan harga tiket yang dianggap tak masuk akal, mengganti sistem penjualan tiket menjadi full online berbentuk gelang, dan menghapus tiket fisik yang telah menjadi bagian dari tradisi. Seiring dengan perubahan ini, ada juga aksi "menepi" yang terpaksa dilakukan demi keinginan didengarkannya suara hati dari bobotoh, yang sebetulnya adalah aset terbesar milik persib (baca juga tulisan Arena Bobotoh pada 11/06/2012 https://simamaung.com/arena-
Dikutip dari radarcirebon.com, Albert Dragtan seorang pentolan bobotoh bilang bahwa "Managemen saat ini sedang menciptakan 'bobotoh baru' bagi perkembangan Persib di masa yang akan datang. Ini sebuah taktik agar Persib di masa yang akan datang sesuai dengan yang manajemen inginkan. Dengan mengadopsi cara seperti itu tentu bakal ada yang dikorbankan. Dan korbannya adalah kita (Bobotoh)". Namun, apakah benar bahwa manajemen Persib ingin menciptakan 'bobotoh baru'? Pandangan Albert Dragtan mungkin bisa menjawab pertanyaan mengapa regulasi tiket saat ini seolah dipersulit dan bukan dipermudah.
Jika benar pandangan tersebut bahwa regulasi tiket baru dan kenaikan harga tiket adalah upaya dari manajemen Persib untuk "menciptakan bobotoh baru" berarti manajemen saat ini sedang mencoba memfilter suporter yang datang ke stadion. Mungkin maksudnya nanti hanya suporter yang melek internet lah yang mampu membeli tiket secara online. Lalu dari harga tiket yang naik, mungkin hanya bobotoh kelas menengah keatas-lah yang nantinya mampu membeli tiket. Tidak ada lagi mobilisasi masyarakat dari luar kota dan pinggiran bandung bahkan seputar jabar yang berbondong-bondong rela mendukung persib dengan segenap cinta meski tak punya cukup rupiah untuk membeli tiket, mengharap belas kasihan penjaga pintu membolehkan mereka masuk di jeda jam istirahat. Tidak ada lagi calo dan oknum penjual tiket keriting. Apakah benar hal ini akan mampu mengubah profil suporter dan panpel menjadi lebih baik? melek internet, mampu secara ekonomi, dan lebih santun dan ramah di dalam stadion?
Jika memang benar begitu, maka perubahan ini bukan hanya tentang tiket atau teknologi. Ini adalah tentang mengarahkan suporter lama, yang mungkin pernah dikenal sebagai hooligan atau suporter yang dikenal berperilaku kurang baik, untuk naik kelas menjadi 'bobotoh baru' yang lebih baik dan santun. Bobotoh baru yang tidak lagi dikenal dengan kekerasan atau perilaku tidak pantas. Ini adalah langkah untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman di stadion bagi semua kalangan usia.
Mencari Keseimbangan dan Kesepahaman
Namun, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita mencapai keseimbangan dalam perubahan ini. Suporter yang telah lama mendukung Persib mungkin merasa ditinggalkan dan terpinggirkan. Padahal suporter adalah elemen vital dalam kesuksesan tim, dan tentunya selalu ingin terus mendukung Persib dengan sepenuh hati. Lalu lihatlah siapa yang belakangan mampu tetap nonton pertandingan kandang dikala bobotoh yang lain sedang 'menepi'? ialah mereka yang 'berpunya'. Mereka yang punya uang lebih disamping kebutuhan pokoknya untuk membeli tiket yang padahal harganya naik. Mereka pun melek internet dan mengerti cara beli tiket online. Maka sudah saatnya lah kita suporter naik kelas, jangan mau begitu-begitu saja. Pantaskan nilai diri, jadilah lebih berarti, tinggalkan masa lalu yang suram dan jadilah lebih baik.
Di sisi lain, manajemen Persib harus mau mendengarkan suara-suara suporter dengan lebih empati dan mampu berkomunikasi duduk bareng dengan elemen suporter secara efektif. Mungkin saatnya bagi manajemen Persib untuk terbuka terhadap ide-ide suporter yang ingin membantu menciptakan suasana stadion yang nyaman dan bisa diterima oleh semua kalangan, bukan malah memarginalkan nya. Mungkin dengan merangkul organisasi bobotoh untuk ikut terlibat langsung membesarkan Persib. Kita punya Persib Radio (dulu bobotoh 964 FM) yang pernah maju ketika Sang Panglima Mang Ayi Beutik (alm.) dkk. masih terlibat didalamnya. Sekarang radio pun bahkan sepi dari berita persib. Mungkin organisasi bobotoh juga perlu diberi wadah dan ruang kreativitas sehingga bisa berkarya untuk persib, apalagi sekarang PT PBB juga sudah menang lelang pengelola stadion GBLA. Banyak ruang stadion yang bisa dimanfaatkan untuk memperkaya kekerabatan dan simbiosis mutualisme suporter dengan manajemen memanfaatkan stadion yang ada.
Jika bisa bekerja sama, tentunya kita dapat menemukan jalan menuju masa depan yang lebih baik, di mana semua suporter, 'lama' dan 'baru', bisa bersatu dan mendukung Persib dengan sepenuh hati. Itulah yang seharusnya menjadi tujuan utama kita semua. Semoga.